MPI, Pohuwato – Legalitas perizinan industri ekstraktif di Kabupaten Pohuwato kembali menjadi sorotan publik. Di satu sisi, negara melalui mekanisme hukum telah menerbitkan izin usaha sebagai dasar operasional industri, 26 Desember 2025.
Namun di sisi lain, muncul pertanyaan mendasar, sejauh mana legalitas izin tersebut sejalan dengan pemenuhan hak hidup masyarakat lokal yang terdampak langsung.
Polemik antara legalitas perizinan industri dan pemenuhan hak hidup masyarakat kembali mencuat di Kabupaten Pohuwato.
Sejumlah kalangan menilai, kehadiran industri ekstraktif yang telah mengantongi izin resmi negara belum sepenuhnya menghadirkan dampak kesejahteraan yang dirasakan langsung oleh warga di sekitar wilayah operasional.
Tokoh masyarakat Pohuwato, Iskandar Dalangko, menegaskan bahwa izin yang sah secara hukum tidak boleh berdiri sendiri tanpa keberpihakan nyata kepada rakyat.
Menurutnya, legalitas harus berjalan beriringan dengan perlindungan hak hidup masyarakat lokal, baik dalam bentuk akses pekerjaan, keberlanjutan lingkungan, maupun ruang ekonomi bagi warga sekitar.
“Legalitas izin memang penting, tetapi lebih penting lagi memastikan rakyat tidak kehilangan hak hidup di tanahnya sendiri. Jika industri berjalan, sementara masyarakat justru terpinggirkan, maka negara perlu melakukan koreksi,” ujar Iskandar.
Aktivis dan juga tokoh masyarakat Provinsi Gorontalo, Kecamatan Dengilo Iskandar Dalangko menilai bahwa izin tidak boleh dimaknai sebatas kepatuhan administratif.
Mantan kades di Desa Karya Baru itu berharap legitimasi hukum harus berjalan beriringan dengan keadilan sosial dan keberpihakan pada warga sekitar.
“Izin memang sah secara hukum, tetapi keadilan diuji dari dampaknya. Jika rakyat justru kehilangan akses kerja dan ruang hidup, maka ada yang keliru dalam praktik pembangunan,” ujarnya.
Iskandar Dalangko juga mengeluhkan minimnya dampak ekonomi langsung dari keberadaan industri.
Dominasi tenaga kerja non-lokal, keterbatasan peluang usaha bagi masyarakat sekitar, serta lemahnya transparansi kebijakan dinilai mempersempit hak hidup warga di tanahnya sendiri.
Kondisi ini memicu rasa keterasingan dan ketimpangan sosial yang kian terasa. Persoalan tersebut, menurut Iskandar, menegaskan bahwa negara tidak cukup hadir melalui penerbitan izin semata.
Negara dituntut memastikan bahwa setiap aktivitas industri mematuhi prinsip perlindungan hak asasi, pemerataan manfaat ekonomi, dan keberlanjutan lingkungan.
“Legalitas tanpa keadilan hanya akan melahirkan konflik sosial laten,” tambahnya.
Di tengah dinamika itu, publik berharap adanya evaluasi menyeluruh terhadap implementasi izin industri di Pohuwato.
Pembangunan yang berkelanjutan, kata Iskandar, harus menempatkan hak hidup rakyat sebagai tolak ukur utama agar hukum tidak berhenti di atas kertas, tetapi benar-benar hadir dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Red













