Patroliindonesia | Technologi – Kebutuhan energi dunia terus mengalami peningkatan, menurut proyeksi Badan Energi Dunia (International Energy Agency-IEA), hingga tahun 2030 permintaan energi dunia meningkat sebesar 45% atau rata-rata mengalami peningkatan sebesar 1,6% per tahun dan sebagaian besar atau sekitar 80% kebutuhan energi dunia tersebut dipasok dari bahan bakar fosil.
Peningkatan permintaan energi dunia tersebut terutama didorong oleh laju pertumbuhan penduduk dan GDP, dan pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia yang memberikan kontribusi penting bagi pertumbuhan ekonomi dunia sangat mempengaruhi permintaan energi dunia. Berdasarkan proyeksi IEA selama periode 2006-2030, permintaan energi dunia sebagian besar berasal dari negara non OECD yakni sebesar 87 % dan pertumbuhan permintaan energi China diproyeksikan paling besar diantara kawasan lain selain India. Pertumbuhan energi pada periode tersebut, juga ditandai dengan posisi batubara sebagai urutan ke dua terpenting pemasok sumber energi setelah minyak.
Pemakaian batubara diperkirakan mengalami peningkatan tiga kali lipat hingga 2030 dan sebesar 97% pemakaian batubara adalah non OECD dengan China mengkonsumsi dua pertiga terbesar.
Peran batubara dalam memasok energi sejalan dengan meningkatnya permintaan pembangunan pembangkit listrik di sejumlah kawasan yang didorong oleh pertumbuhan ekonomi dan pendapatan. Pertumbuhan permintaan batubara diproyeksikan tumbuh sekitar 2% per tahun.
Setelah batubara pasokan energi dunia secara berurutan disumbang oleh gas, biomasa, nuklir, hydro dan sumber energi baru dan terbarukan.
Peran sumber energi baru dan terbarukan untuk kelistrikan memperlihat terus mengalami peningkatan dan mulai 2010 peran energi baru dan terbarukan dalam kelistrikan menduduki posisi ke dua setelah batubara dan hydro.
Kendati demikian, berdasarkan analisi IEA trend pemakaian energi dunia masih dibayang-bayangi beragam masalah terkait dengan aspek sosial, lingkungan dan ekonomi.
Pada sisi lain peningkatan pemakaian bahan bakar fosil memicu perubahan iklim, untuk itulah IEA menganjurkan pemakaian energi bersih dan efisien guna menekan emisi gas karbon.
Teknologi Rekah hidrolik atau Hydraulic Fracturing Technology adalah teknik di mana sejumlah besar air dan pasir, dan sejumlah kecil aditif kimia disuntikkan ke dalam formasi bawah permukaan dengan permeabilitas rendah untuk meningkatkan aliran minyak atau gas alam.
Tekanan injeksi fluida yang dipompa menciptakan rekahan yang meningkatkan aliran gas dan fluida, dan pasir atau material kasar lainnya menahan rekahan tetap terbuka.
Sebagian besar fluida yang diinjeksikan mengalir kembali ke lubang sumur dan dipompa ke permukaan. Teknologi Rekah hidrolik telah digunakan selama lebih dari 60 tahun di lebih dari satu juta sumur.
Akan tetapi baru-baru ini, kekhawatiran publik tentang potensi dampak pada air minum dan kerusakan lingkungan lainnya telah tumbuh secara signifikan. Akibatnya, Kongres mengarahkan Badan Perlindungan Lingkungan (EPA) untuk melakukan studi praktik ini untuk lebih memahami potensi dampak rekahan hidrolik pada air minum dan air tanah.
DOE/NETL bekerja sama dengan EPA saat melakukan penelitian dan juga berkolaborasi dengan Departemen Dalam Negeri untuk meningkatkan pemahaman tentang risiko ini.
Teknologi Rekah hidrolik adalah salah satu dari beberapa langkah dalam proses pengembangan sumber daya yang tidak konvensional.
Pada tingkat yang paling dasar, sumber daya “konvensional” akan mengalir sendiri ke lubang sumur, sementara sumber daya “tidak konvensional” tidak.
Dalam konteks ini, “tidak konvensional” mengacu pada minyak dan gas yang terkandung dalam lapisan batuan keras. Teknologi Rekah hidrolik adalah proses dimana batuan dipecah sehingga memungkinkan minyak dan gas yang terperangkap di dalamnya mengalir ke sumur.
Meskipun teknologi baru telah membuat penggunaan rekahan hidrolik semakin lazim, ini bukanlah praktik baru.
Rekah hidrolik telah digunakan di lebih dari 1 juta sumur di seluruh dunia selama enam dekade terakhir. Teknologi Rekah hidrolik digunakan di banyak daerah penghasil minyak dan gas yang sudah mapan di Amerika Serikat serta beberapa daerah baru di industri perminyakan di dunia, pertanyannya adalah Siapa yang bertanggung jawab untuk memantau masalah yang terkait dengan rekahan hidrolik dan melindungi lingkungan ?
Masing-masing negara telah mengatur banyak aspek eksplorasi dan produksi minyak dan gas, serta mereka juga memiliki beberapa pengawasan terhadap kegiatan minyak dan gas di lahan yang mereka Kelola ini termasuk melakukan dampak lingkungan yang terjadi.
Teknologi Rekah hidrolik di sumur vertikal telah digunakan selama lebih dari lima puluh tahun untuk meningkatkan aliran minyak dan gas dari reservoir konvensional.
Namun, praktik pengeboran horizontal saat ini yang digabungkan dengan berbagai aplikasi rekahan hidraulik dalam satu sumur telah dirintis pada akhir 1980-an dan terus berkembang. Secara umum, fluida rekah hidrolik terdiri dari air, proppant (biasanya pasir), dan bahan kimia.
Situs web publik yang dikenal sebagai FracFocus telah dibuat oleh industri yang mencantumkan bahan spesifik yang digunakan di banyak sumur yang retak secara hidraulik.
Masing-masing perusahaan memilih beberapa bahan kimia untuk digunakan dari ratusan yang tersedia yang mungkin saja dapat merusak lingkungan..
Sebenarnya tidak ada sumur rekahan yang “khas” karena jumlah air yang digunakan tergantung pada formasi batuan dan operatornya, apakah sumur itu vertikal atau horizontal, dan jumlah bagian (atau tahapan) dari sumur yang retak. Selain itu, sebagian air didaur ulang dari cairan yang dihasilkan oleh sumur, sehingga konsumsi bersihnya mungkin lebih kecil.
Praktek rekah hidrolik (atau “fracking”) yang sebenarnya hanyalah sebagian kecil dari keseluruhan proses pengeboran, penyelesaian, dan produksi sumur minyak dan gas.
Masalah lingkungan yang secara khusus terkait dengan rekahan hidrolik biasanya meliputi: ketersediaan air tumpahan bahan kimia di permukaan dampak penambangan pasir untuk nantinya di proses lebih lanjut.
Di ladang minyak atau gas konvensional, di mana Minyak atau gas berada di batuan yang relatif berpori dan permeabel (yaitu pori-pori terhubung), minyak atau gas biasanya dapat mengalir secara alami dari batuan reservoir ke lubang sumur. Meskipun demikian, berbagai teknik sering digunakan untuk meningkatkan aliran minyak atau gas, termasuk rekahan hidrolik.
Dan jika hal ini dilakukan dengan benar, rekahan hidraulik (atau “penguraian”) memiliki kemungkinan kecil untuk mencemari pasokan air.
Sumur yang dibangun dengan benar mencegah cairan pengeboran, cairan rekahan hidrolik, air formasi salin dalam, atau minyak dan gas memasuki akuifer.
Sebagian besar air dan aditif yang digunakan dalam rekahan hidrolik (atau “fracking”) tetap berada jauh di bawah tanah dalam formasi geologi dari mana minyak atau gas diekstraksi.
Tetapi sebagian dari fluida, bercampur dengan air atau air asin dari formasi, kembali melalui sumur ke permukaan dan disebut sebagai “air terproduksi”.
Saat ini teknologi rekahan hidrolik sudah digunakan secara luas di Kanada dan beberapa negara-negara di Asia, Eropa, dan Amerika Selatan, yang perlu diwaspadai adalah sejauh mana dampak perusakan lingkungan yang terjadi akibat penggunaan teknologi ini dan bertentangan dengan upaya pengurangan pemakaian bahan bakar fosil yang bisa memicu perubahan iklim, serta anjutan IEA untuk mulai meningkatkan penggunakan pemakaian energi bersih dan efisien guna menekan emisi gas karbon. (NN)