Patroliindonesia | Semarang – Polemik proyek flyover Purwosari Solo yang digarap PT Wijaya Karya (Wika) berbuntut panjang. Kepala Balai Pelaksanaan dan Pengawasan Jalan Nasional (BPPJN) Wilayah VII Jateng, Ahmad Cahyadi, bakal dilaporkan ke Kementrian PUPR, Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Ini terkait proyek flyover yang didanai APBN Rp 104,6 miliar diduga bermasalah. Mulai soal batching plant dan bangunn konstruksi yang diduga tak sesuai spec. Apalagi dalam polemik proyek flyover Purwosari Solo ini Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Alik Mustakim membawa-bawa nama Walikota Solo FX. Hadi Rudyatmo.
“Dari sisi pertangungjawabaan, proyek overpass itu tanggung jawab Kepala Balai Jalan Nasional VII Jawa Tengah. Sebagai owner harus bertangung jawab. Jika terkait teknis di lapangan, tanggung jawabnya pada PPK dan Kepala Satker,” ungkap Yohanes, Ketua Perkumpulan Sahabat Joni untuk Masyarakat, Minggu (17/5).
Menurut Yohanes selama ini Kepala BPPJN selalu menyalahkan PPK dan Satker. Ini seperti terjadi saat pihaknya menyoroti paket Jalan Nasional Rembang Blora Cepu yang diduga dimonopoli PT Sutikno. Saat itu Kepala BPPJN juga menyalahkan PPK.
“Karena itulah kami dari orgasnisasi masyarakat akan melaporkan Pak Cahyadi (Kepala BPPJN VII Jateng, red) kepada Bapak Menteri PU dan juga instansi terkait seperti Kejaksaan Agung dan KPK. Kami berharap proses pekerjaan seperti termuat di harian Merah Putih seperti monopoli proyek jalan nasional ruas Kabupaten Rembang tahun 2017, 2018, 2019 dan 2020 diproses secara hukum,” papar dia.
Begitu juga terkait flyover Purwosari Solo yang diduga bermasalah. Selain masalah spec, juga soal batching plant yang diduga tak memiliki ijin.
“Kami melakukan kontrol sosial sesuai aturan dan UU Keterbukaan Publik. Tugas kami memonitoring dan melaporkan kinerja ASN. Kami tegaskan akan melaporkan kinerja Kepala BPPJN VII, Satker juga PPK Wilayah I. Sebab banyak kesalahan yang dilakukan PPK dan Satker,” lanjut Yohanes.
Ironisnya, lanjut dia, kesalahan PPK dan Satker justru dilindunggi Kepala BPPJN Jateng.
“Informasi yang kami terima beliau (Ahmad Cahyadi, red) akan diangkat dalam jabatan baru sebagai direktur di Kementrian PUPR. Kami akan surati Pak Menteri PUPR agar dipertimbangkan jabatan baru Cahyadi. Sebab banyak maslaah yang dilakuakn selama beliau tugas sebagai Kepala Balai VII Jateng,” papar Yohanes.
la mencontohkan dalam pekerjaan flyover Purwosari Solo. Menurutnya, Kepala BPPJN VII Jateng terkesan melindunggi PPK, Alik Mustakim dan Kepala Satker, Javid. Sebelum pekerjaan dikerjakan oleh PT Wijaya Karya, awalnya memasang papan proyek di lokasi sudah sesuai aturan. Setelah papan proyek kewajiban kontraktor melakukan mobilisasi alat-alat yang akan dipakai. Setelah siap kontraktor akan tembak elovasi yang dimana untuk bisa dikerjakan pekerjaan tersebut.
“Dalam pelaksanaan kontrak di mana di dokumen bunyinya harus menyediakan batching plant seharusnya disiapkan oleh kontraktor pemenang PT Wijaya Karya. Dokumen lelang dan kontrak sudah sangat jelas diatur. Batching plant yang dimasukan ke dokumen adalah berdekatan dengan lokasi proyek maksimal 8 km atau 5 km. Harusnya PT Wijaya Karya Memasukan dokumen pendudukung yang diminta pantia BP2JK. Apabilah dokumen sudah masuk panitia bisa mengevaluasi. Apabila dalam evaluasi surat pendudukung plant tidak sesuai dengan permintaan pokja, maka PT Wijaya Karya akan gugur,” papar dia. “Di sini kami pertayakan surat pendudukung yang dipakai PT Wijaya Karya, menggunakan surat pendudukung plant mana? Apahkah Jaya Mix atau plant lain? Sebab dokumen harus sesuai dengan yang dimasukin ke LPSE,” imbuh Yohanes.
Ternyata di lapangan, Yohanes menemukan PT Wijaya Karya menggunakan plant dari Jaya mix yang mempunyai concrete mixer yang lokasinya jauh dari lokasi proyek di Karang Anyar Desa Ingasraso Plengsengan Kec.Gondang.
“Ini sangat jauh sehingga untuk mensuplay beton agak kesulitan. Kalau dilihat dari aturan yang ada, Jayamix tidak masuk untuk mensuplay beton ke overpass Purwosari. Pertayaan kami kenapa sampai PT Wijaya Karya bisa menangkan proyek tersebut dilihat dari surat dukunggan mixer yang jauh sudah lebih dari aturan yang ada?Juga pertayaan kami di sini adalah menggunakan surat pendudukung dari mana yang dipakai PT Wijaya Karya?” bebernya.
Sekarang, masih kata Yohanes, PT Wijaya Karya menggunakan plant dari Jayamix yang lokasinya dipindah ke dalam kota Solo. Tepatnya dekat lokasi proyek overpass Purwosari.
“Kami bertanya-tanya ada yang aneh saja, sebab surat pendukung pastinya tidak sama dengan lokasi proyek. Kedua lokasi yang dipakai adanya mixer tersebut tidak sepantasnya ada mixer di situ. Sebab proses perijinan yang cukup lama, baru mendapatkan IMB dan LH. Sangat rumit pengurusan itu, apalagi di tengah kota dan di perkampunggan warga. Maka janggal jika Pemerintah Kota Solo bisa mengeluarkan ijin berdirinya plant tersebut, tidak masuk akal,” terang dia. “Okelah itu urusan PPK dan penyedia jasa. Tetapi apakah masyarakat sekitar memperbolehkan ijin ganguan dan kebisingan, juga debu yang cukup banyak.
Saya rasa tidak mungkin mau warga sekitar. Kami sudah menyakan hal itu ke warga sekitar. Mereka malah tidak dikasi tau adanya pembangunan overpass tersebut. Dari sini saja sudah salah. Tetapi itu urusan pemerintah kota Solo dan masyarakatnya. Yang kami pertegas adalah melanggar aturan yang ada, Perda Kota Solo dilanggar,” tandasnya.
Yohanes juga mempertanyakan pernyataan PPK Alik Mustakim terkait keretakan pada beton pancang yang disebutnya bukan retak, tapi dilatasi. Menurut Yohanes yang dimaksud delitasi adalah pemutusan struktur yang sengaja dilakukan untuk bangunan yang panjang. Pengertian dilatasi sebuah bangunan atau pemisahaan pada bangunan karena sesuatu hal yang memiliki sistem struktur berbeda hal ini dilakukan, agar pada saat terjadinya beban /gaya vertical dan horizontal seperti pergeseran tanah atau gempa bumi pada bangunan tidak menimbulkan keretakan atau putusanya sistem struktur bangunan.
“Bahasa masyarakat umum bahwa fungsinya menghindari keretakan. Tetapi yang menurut PPK dilatasi. Padahal yang kami pertayakan itu retak pada bangunan tersebut bukan yang lain. Dari sini kami melihat PPK tidak memahami. Menurut kami keratakan di overpass Purwosari dikarenahan penurunan pada tanah, sehingga pada saat tiang pemancangan ditanam tidak benar-benar dalam atau pada posisi tanah yang mungkin di dalamnya masih ada lumpur. Namun oleh PPK dan PT Wijaya Karya dianggap sudah cukup kedalamanya, sehingga pada saat ada beban berat, tiang pancang tersebut mengalami penurunan sehingga terjadilah retak dan pecah,” jelas Yohanes.
la menegaskan keretakan itu bukan dilatasi. Sebab pecah pada pancangnya dan juga ada yang disambungkan. Matrial beton yang digunakan berwarnah hitam hasil dari campuran di mixer.
“Kualitas yang kami pertanyakan tetapi itu pun Kembali lagi ke PPK, nantinya ke depan seperti apa jadinya overpass tersebut sebab umur beton harus 5 tahun baru rusak. Kami tunggu saja hasilnya seperti apa,” tuturnya.
“Kami ingin transparan pekerjaan tersebut, sebab menggunakan uang rakyat (APBN),” Yohanes menegaskan. la juga menyoal harga paket yang ditawar PT Wijaya Karya. Menurutnya, PT Wijaya Karya harusnya gugur, tidak bisa menag dalam lelang proyek tersebut. Sebab hasil pengamatannya, penawaran PT Wijaya Karya turun jauh dari HPS. “Tidak masuk logika.
Tetapi kalau nanti kami menayakan ke PPK kenapa PT Wijaya Karya bisa menang, pasti jawabnya itu urusan Pokja BP2JK. Pasti dilempar lagi ke BP2JK. Padahal PPK juga punya hak untuk menolak apabila hasil evaluasi dokumen dan tenaga-tenaga ahli tidak sesuai,” ungkapnya.
Berdasarkan data di LPSE (Ipse.pu.go.id) pemenang lelang proyek Flyover Purwosari-Solo ini adalah PT Wijaya Karya (Wika). Nilai kontrak senilai Rp 104,6 miliar. Tepatnya Rp 104.672.483.694,61. Namun nilai jauh di bawah harga perkiraan sendiri (HPS) yang dibuat PPK, yakni HPS 150.525.190.300,27. Ada selisih sekitar Rp 45,8 miliar.
Berdasarkan data di LPSE (Ipse.pu.go.id) pemenang lelang proyek Flyover Purwosari-Solo ini adalah PT Wijaya Karya (Wika). Nilai kontrak senilai Rp 104,6 miliar. Tepatnya Rp 104.672.483.694,61. Namun nilai jauh di bawah harga perkiraan sendiri (HPS) yang dibuat PPK, yakni HPS 150.525.190.300,27. Ada selisih sekitar Rp 45,8 miliar.
Menyangkut nama Walikota Solo yang dikaitkan proyek ini, Yohanes menyebut tidak pantas hal itu dinyatakan oleh seorang PPK.
“Seakan-akan dia ini membiarkan ada kesalahan yang dilakukan oleh PT Wijaya Karya. Tidak dibenarkan itu, sebab hal itu ranah PPK, Satker dan Kepala Balai. Angaran yang digunakan ini APBN, bukan APBD Kota Solo. Jadi semua kewenggan proyek ini Kepala BPPJN VII Jateng. Urusan kontrak proyek yang bertangung jawab PPK. Jadi pencatutan nama walikota Solo itu pribadinya PPK tidak ada sangkut paut di perijijanan,” pungkas Yohanes.
Sebelumnya, Kepala BPPJN Wilayah VII Jateng, Ahmad Cahyadi mengatakan izin batching plant di flyover Purwosari-Solo ini sudah memiliki izin. Namun, jika ada warga yang mengeluhkan adanya air semen atau limbahnya, ia meminta warga tersebut untuk datang dan melakukan musyawarah. Mengenai kualitas beton yang pecah dan disambung cor-coran baru karena diduga pekerjaan tidak sesuai spec, ia mengatakan belum memantau. Namun, ia meminta wartawan Merah Putih untuk melakukan pengecekan bersama PPK.
“Saya nggak bisa memberikan komentar dari lihat foto saja, apa itu defect atau bukan, ” tutur Cahyadi.
Mengenai nama Walikota Solo yang dibawa-bawa oleh PPK, Cahyadi no comment. Sebelumnya, PPK Alik Mustakim, menyeret nama Walikota Solo FX. Hadi Rudyatmo dalam proyek fisik flyover Purwosari Solo. Alik mengungkan hal itu saat dikonfirmasi terkait pengerjaan fisik flyover yang diduga tak sesuai spec, dan adanya batching plant (tempat produksi beton curah siap pakai) di lokasi proyek tengah kota Solo.
“Kami sudah bahas di awal dgn pak wali (Walikota Solo FX. Hadi Rudyatmo, red),” sebut Alik Mustakim. (tim/ sumber)