Reuni Anggota Tim 9 Inisiator Kasus Bank Century, Bamsoet Bahas Kondisi Perekonomian Indonesia dan Dukung Langkah Presiden RI

Patroli Indonesia | JAKARTA – Ketua MPR RI Bambang Soesatyo bertemu kangen rekan sejawat yang pernah tergabung dalam Tim-9 Inisiator Pansus Kasus Bank Century. Kehadiran mereka pada periode DPR RI 2009-2014 banyak mendapat sorotan dan menggentarkan dunia perpolitikan nasional karena berhasil membongkar skandal Bank Century yang mengakibatkan kerugian negara mencapai Rp 6,7 Triliun.

Walaupun beberapa anggota Tim-9 Inisiator Pansus Century kini sudah tidak lagi menjadi anggota DPR RI, namun persahabatan serta semangat menjaga bangsa dan negara tetap menyala. Diera merekalah untuk pertama kalinya hak istimewa DPR RI sepanjang sejarah republik ini berdiri dipergunakan. Yakni Hak Angket atau hak penyelidikan tertinggi yang diberikan konstitusi kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

“Reuni kecil sambil makan malam ini membahas berbagai hal seputar perekonomian negara, hingga kondisi perbankan dan asuransi Indonesia yang beberapa waktu terakhir ini banyak mendapat sorotan. Mengingat Presiden Joko Widodo saat membuka Pertemuan Tahunan Industri Jasa Keuangan pada awal 2020 sudah menyatakan pentingnya reformasi perasuransian. Berkaca kepada kasus asuransi Jiwasraya, Bumiputera, hingga Asabri, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harus menindaklanjuti reformasi perasuransian melalui pengaturan dan pengawasan, reformasi institusional, reformasi infrastruktur, hingga penyiapan RUU Lembaga Penjamin Polis. Dan kita harus mendukung langkah Presiden Jokowi tersebut,” ujar Bamsoet usai bertemu Tim-9 Inisiator Pansus Century, di Jakarta, Jumat (17/12/21).

Tim-9 Inisiator Pansus Century yang hadir antara lain, Ahmad Muzani, Andi Rahmat, Chandra Tirta Wijaya, Akbar Faizal dan Mukhamad Misbakhun.

Ketua DPR RI ke-20 dan Mantan Ketua Komisi III Bidang Hukum & Keamanan DPR RI ini menjelaskan, industri asuransi Indonesia merupakan sektor keuangan dengan kapital intensif, mengelola dana besar dan dengan kompleksitas produk yang seharusnya butuh pengawasan yang lebih dibandingkan perbankan. Data OJK mencatat, per Juni 2021 total aset industri asuransi mencapai Rp 768,49 triliun.

“Besarnya nilai aset ini melibatkan hajat hidup orang banyak, yang telah memercayakan jaminan kesejahteraan masa depannya pada industri asuransi. Karenanya, OJK tidak boleh lemah dalam menjalankan tugas dan fungsinya dalam mengawasi industri keuangan” jelas Bamsoet.

Kepala Badan Hubungan Penegakan Hukum, Keamanan dan Pertahanan KADIN Indonesia ini mencontohkan, dalam permasalahan Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera (AJBB), BPK mencatat bahwa OJK tidak melakukan uji kepatutan dan kelayakan kepada jajaran pengelola statuter yang ditunjuk untuk merestrukturisasi AJBB, sehingga menyalahi UU Nomor 40/2014 tentang Perasuransian. Dalam IHPS I/2018, BPK menemukan penerimaan pungutan OJK 2015-2017 sebesar Rp 493,91 miliar belum diserahkan ke negara, penggunaan penerimaan atas pungutan melebihi pagu sebesar Rp 9,75 miliar, gedung yang disewa dan telah dibayar Rp 412,31 miliar tetapi tidak dimanfaatkan, utang pajak badan OJK per 31 Desember 2017 sebesar Rp 901,10 miliar belum dilunasi.

“Di skandal Jiwasraya dengan gamblang menunjukan betapa lemahnya self control mekanisme pengawasan di internal OJK. Sebagaimana OJK Inggris (FSA) yang tidak mampu mendeteksi kondisi keuangan bank penyedia kredit perumahan The Northern Rock. Setelah membubarkan FSA pada tahun 2013, Inggris mengembalikan sistem pengawasannya ke Bank Sentral. Tidak menutup kemungkinan, kejadian serupa juga bisa terjadi di Indonesia,” pungkas Bamsoet. (*)

Pos terkait