Diduga Tempat Rehabilitasi Narkoba disinyalir Untuk Negosiasi 86 Kepada Keluarga Korban

Patroli Indonesia |JAKARTA – Berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia, penyalahguna narkotika dan obat terlarang (Napza), merupakan korban sehingga wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Terapan hukum ini tertuang di dalam Pasal 3 ayat (1) Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional Nomor 11 Tahun 2014 tentang Tata Cara Penanganan Tersangka dan/atau Terdakwa Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi (Peraturan BNN 11/2014).


Di dalam aturan tersebut, juga berbunyi hak bagi korban untuk sembuh dan mendapatkan perawatan guna menjauhi jeratan narkotika. Isi perarturan tersebut mengatakan pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika yang tanpa hak dan melawan hukum sebagai tersangka dan atau terdakwa dalam penyalahgunaan narkotika yang sedang dan menjalani proses penyidikan, penuntutan, dan persidangan di pengadilan berhak diberikan pengobatan, perawatan dan pemulihan dalam lembaga rehabilitasi.

Namun dalam aturan tersebut menyebabkan hukum menjadi abu abu dan terdapat celah yang didapat oleh para oknum penegak hukum untuk memeras para korban pecandu narkotika.

Tidak kita pungkiri beberapa tempat rehabilitasi narkotika milik pemerintah memang sudah menjalani terapan ketentuan hukum, sehingga tempat rehabilitasi pemerintah selalu penuh sehingga celah ini yang dipakai para kolega kolega dari para oknum penegak hukum akhirnya bermain dan menyediakan yayasan rehabilitasi swasta yang jauh dari standarisasi nasional.

Dari pantauan dilapangan sebuah rumah rehabilitasi swasta yang berdiri di kawasan mewah bangka, Kemang, Jakarta Selatan, menetapkan sejumlah uang kepada keluarga korban penyalahgunaan Narkotika. Beberapa waktu seorang Pemuda atas nama Bisma diamankan petugas narkotika polda saat pengeledahan di kosannya di bilangan Palmerah, Jakarta Barat. Saat diamankan Bisma tidak kedapatan memiliki atau menguasai narkotika, namun dari cek urin, Bisma positif memakai narkotika jenis Sabu. Setelah menjalani penyidikan dan penyelidikan di Polda Metro Jaya, Bisma kemudian dikirim ke Panti rehabilitasi swasta Cakra Sehati. Setelah menginap tiga hari di panti Cakra Sehati keluarga dimintai uang 5 juta rupiah agar Bisma bisa pulang kerumah tanpa harus berlama lama menjalani rehabilitasi di Cakra. Pihak panti Cakra meminta uang tersebut untuk biaya rawat jalan.

Berbeda kasus dengan Ahdry, pemuda 39 tahun yang juga seorang jurnalis yang terjerumus memakai narkoba berjenis ganja, ditangkap dikantornya, di bilangan Jakarta Timur, oleh Unit Narkoba Polres Jakarta Selatan.

Ahdry yang ditetapkan menjalani rehabilitasi diharuskan membayar uang sebesar 60 juta rupiah jika ingin langsung pulang dengan kalimat bahasa manis rawat jalan.

Menurut Jendral Purnawirawan Zakaria Yahya merupakan kerabat Ahdry yang menjadi penjamin hukum di kepolisian, keluarga enggan memberikan uang 60 dikarenakan uang sebesar itu tidak masuk diakal untuk biaya rehabilitasi rawat jalan.

“Jika langsung pulang selepas dari tuntasnya penyelidikan dan penyidikan di Unit Narkoba Jakarta Selatan, kita harus membayar uang 60 juta rupiah, namun jika tiga hari menginap di pusat rehabilitasi Cakra Sehati, maka Ahdry dikenakan biaya 20 juta, aneh kan,” ujar Zakaria kepada wartawan di bilangan Kemang, Jakarta Selatan, Selasa (14/12).

Ditegaskan Zakaria yang merupakan purnawirawan TNI AD, dengan jabatan terakhir sebagai hakim di Pengadilan Militer, dirinya dan keluarganya tidak akan menuruti keingitan pemgurus tempat rehabilitasi Cakra Sehati.

“Jika kita mengikuti dan membayar sejumlah uang, berarti saya mendukung adanya tindak pemerasan dibalik bayang bayang rehabilitasi narkoba,” tukas Zakaria.

Ditambahkannya, pengurus rehabilitasi Cakra juga mengancam akan menyalurkan Ahdry ke Pusat Rehabilitasi Negeri, jika pihak keluarga tidak dapat membayar sejumlah uang yang diinginkan pengurus Cakra.

“Aneh ya, mereka malah mengancam akan membuang lagi keponakan saya ke pusat rehabilitasi pemerintah, kok ada ancaman ya, bukannya seharusnya tidak besar biaya rehabilitasi,” tegasnya.

Dapat diketahui sebelumnya panti reha ilitasi narkoba swasta Cakra Sehati telah mrnjalin kerja sama dengan Polres Jakarta Barat, Polres Jakarta Selatan, beberapa Polsek dilingkungan Jakarta Pusat Jakarta Selatan dan Jakarta Barat.

Bahkan beberapa Unit narkoba di direktorat narkoba Polda Metro Jaya juga telah menjalin kerja sama dengan Cakra Sehati.

Banyak para lulusan rehab di Cakra Sehati mengatakan kepada (Red) mereka dikemplang uang mulai dari 3 juta rupiah hingga ratusan juta, tergantung apakah si korban saat diamankan membunyai barang bukti yang memberatkan atau tidak.

Bahkan pemgurus panti sebelumnya selalu berkordinasi dengan penyidik dari kepolisian yang menangkap para korban penyalahgunaan narkotika untuk negosiasi biaya rehab dan pembebasan dengan dalih bahasa rawat jalan.

Seharusnya penegak hukum dari divisj Provost atau Pengamanan Internal (Paminal) lebih jeli dalam menindak praktek pemerasan yang dilakukan oknum penyidik unit Narkotika dengan dalih menyalurkan para pemakai Napza ke panti rehab swasta, sehingga pengurus panti bebas untuk meminta sejumlah uang yabg sudah dikasih tau besarannya dari oknum penyidik narkotika, sehingga oknum penyidik polisi narkotika tetsebut terbebas dari jeratan hukum bidang profesi, pengamanan internal, (Provost) Kepolisian.

Polisi presisi seharusnya mengayomi bukannya memberatkan para pelaku pemakai narkotika dengan mengempang sejumlah uang jika ingin bebas. Dapat dipahami para pemakai narkotika merupakan korban dari para bandar yang masih banyak berkeliaran di jalanan.

Selama penegak hukum belum tuntas memberantas para produsen, importir dan pengedar narkoba, para pemakai narkotika dapat di definisikan sebagai korban, dan berhak mendapat rehabilitasi dari panti rehabilitasi pemerintah dan sudah tercantum dalam peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional.(Red) ris

 

Pos terkait