MPI, Komisi II DPRD Provinsi Gorontalo menggelar Rapat Koordinasi (Rakor) dengan Dinas Tenaga Kerja, ESDM, dan Transmigrasi Provinsi Gorontalo, membahas berbagai permasalahan yang dihadapi Kabupaten Pohuwato. Fokus utama rapat ini adalah isu Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dan tali asih, dengan harapan dapat menciptakan solusi yang efektif guna mencegah konflik sosial di masyarakat.
Limonu Hippy, anggota Komisi II DPRD Provinsi Gorontalo, mengungkapkan bahwa hingga kini terdapat banyak masalah utama yang masih belum terselesaikan, terutama terkait dengan 276 titik tali asih yang belum tuntas.
“Menurut data yang disampaikan oleh mahasiswa dalam aksi demonstrasi di halaman kantor DPRD Provinsi, ada sekitar 276 titik tali asih yang masih belum terselesaikan. Kami berharap Pemerintah Provinsi, khususnya Bapak Gubernur dan dinas terkait, dapat segera memfasilitasi penyelesaian masalah ini bersama pihak PANI GOLD PROJECT (PGP). Sebab, sesuai arahan Kementerian Dalam Negeri, Gubernur diminta untuk menuntaskan masalah ini, namun hingga saat ini belum juga selesai,” ungkap Limonu.
Limonu menekankan pentingnya kolaborasi antara Pemerintah Provinsi dan perusahaan, termasuk PT. GSM dan PT. PETS yang tergabung dalam PGP, untuk segera menyelesaikan persoalan tali asih. Hal ini dilakukan demi menghindari potensi konflik di Kabupaten Pohuwato yang dikhawatirkan dapat menciptakan ketegangan di tengah masyarakat.
Selain itu, Limonu juga menyoroti lambatnya proses realisasi WPR dan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) yang sangat dinanti masyarakat. Ia menyebutkan bahwa terdapat tiga blok WPR di Desa Hulawa, Kecamatan Buntulia, yang hingga saat ini terhambat karena masalah regulasi dengan Balai Wilayah Sungai (BWS). Menurutnya, blok-blok ini seharusnya tidak dihapus begitu saja, tetapi dapat dipindahkan ke wilayah lain seperti Taluditi atau Desa Iloheluma, Kecamatan Patilanggio, yang dianggap memiliki potensi untuk ditetapkan sebagai WPR.
Dalam kesempatan yang sama, Limonu juga menyampaikan keresahan masyarakat Desa Hulawa terkait rencana pembangunan smelter oleh PT. Pani Bersama Tambang (PBT), yang diperkirakan dapat menyebabkan relokasi warga di dua dusun. Ia mengkritik bahwa perencanaan relokasi tersebut kurang matang dan hanya menimbulkan kecemasan di kalangan masyarakat.
“Jika masih ada pilihan lokasi alternatif untuk pembangunan smelter, kenapa harus memilih kawasan pemukiman warga? Apalagi, ada dusun lain di sekitarnya serta blok WPR yang telah ditetapkan oleh Kementerian ESDM. Jika perusahaan tetap memaksakan relokasi ini, akses menuju dusun Poladingo dan blok WPR bisa saja tertutup lagi dengan alasan tertentu,” tegas Limonu.
Ia berharap perusahaan mempertimbangkan kepentingan masyarakat dan mengambil pendekatan yang solutif agar tercipta hubungan harmonis antara perusahaan dan warga setempat. Hal ini diharapkan dapat menjaga ketertiban dan keamanan di daerah tersebut.
Di akhir rapat, Limonu mengungkapkan harapannya agar Rakor ini dapat menghasilkan langkah konkret dalam penyelesaian berbagai masalah yang ada, terutama untuk memberikan kepastian hukum dan kesejahteraan bagi masyarakat yang terdampak. Red